Kerajinan tenun Toraja merupakan warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pengrajinnya banyak ditemui di Tanah Toraja bagian Utara. Sampai sekarang para pengrajin tenun Toraja masih menggunakan alat tenun yang tradisional. Kain tenun Toraja memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam budaya masyarakat Toraja . Kain tenun memegang peranan penting dalam berbagai upacara adat, juga berfungsi sebagai simbol kemakmuran dan kejayaan.
Di masa lampau hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memiliki kain-kain tersebut misalnya kaum bangsawan atau masyarakat ekonomi mampu. Untuk dapat memiliki kain-kain tersebut mereka harus menukarnya dengan hewan ternak misalnya kerbau yang secara ekonomi memiliki nilai tinggi. Namun semuanya telah mengalami pergeseran nilai sehingga semua kalangan bisa menggunakannya.
Proses pembuatan kain tenun Toraja, dimulai dari benang sampai kain. Benang dipintal berbentuk serat. Serat-serat ini terdiri dari dua jenis yaitu berupa kapas dan ada yang berupa serat nanas. Karena serat nanas sudah langka, maka yang digunakan saat ini adalah serat kapas. Kain tenun Toraja dapat dikenali dari motif, warna dan tekstur. Motif garis-garis vertikal, bunga dan burung merupakan mootif-motif yang paling sering digunakan. Warna-warna yang digunakan cenderung warna-warna yang gelap, seperti warna merah, hitam, cokelat dan biru tua.
Setiap motif, gambar dan simbol yang tersirat dalam kain tenun tradsional Toraja memiliki makna yang sangat melekat pada masyarakat Toraja dan itulah menjadi sebuah ciri khas masyarakat Toraja.
Kain tenun tradisional Toraja memiliki ciri khas dari setiap warna maupun motif yang digunakan. Dulu kala benang yang digunakan untuk membuat kain tenun tradisional yaitu serat nenas dan serat kapas. Alat yang digunakan dalam memintal serat kapas menjadi sehelai benang yaitu UNURAN yaitu alat yang terbuat dari bambu dan kayu. Serat nenas dan kapas yang telah di pintal kemudian akan diberi warna. Dalam pewarnaan benang tidak sembarang warna yang digunakan. Mereka menggunakan warna yang bertahan lama. Masyarakat Toraja menggunakan beberapa warna alam dalam pembuatan kain tenun tradisional Toraja yang mereka dapatkan dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan.
Kain tenun tradisional Toraja pada umumnya menggunakan warna merah, biru, hitam, dan hujau yang diambil dari warna alam. Namun karena tanaman tersebut sudah langka sehingga mereka menggunakan kain pabrik sehingga kain tenun tradisional sekarang sudah menggunakan semua warna. Selain itu, motif pada kain tenun tradisional Toraja juga beranekaragam misalnya garis-garis vertikal, bunga-bunga, binatang-binatang (Kerbau, ayam), Patung Tau-Tau, serta berbagai ukiran Toraja.
Salah satu Motif yang tergolong sulit seperti paruki‟ masih dihidupi oleh perajin karena harga jualnya yang tinggi. Motif paruki‟ dibuat dengan menenun di atas tenunan sehingga memunculkan corak seperti anyaman. Motif yang ditonjolkan biasanya berupa ukiran manik-manik seperti yang biasa dipakai sebagai perhiasan perempuan Toraja Motifnya pun mereka meniru sebagian dari motif ukiran namun para pengrajin mengkombinasikan dengan motif lain seperti gari-garis dan motif bunga-bunga.
Tenunan asli toraja sebenarnya mudah dikenali. Dengan sekali sentuh, bakal terasa bahwa tenun Toraja lebih kasar dari pada kain yang menggunakan mesin. Meski sama-sama berbahan baku benang poliester dengan motif serupa berupa aksen permainan garis, tenun Toraja lebih tebal dan berat. Karena dibuat langsung dengan tangan.
Adapun jenis-jenis kain tenun tradisional toraja antara lain:
1. Tenunan ikat (terbuat dari benang kapas)
2. Tenunan Paruki, tenunan yang mirip dengan hiasan Toraja yaitu kandaure
3. Tenunan Pa‟ Matapa, seperti bekas memahat kayu
4. Tenunan Paramba‟ , kain yang terdiri lebih dari satu warna
5. Tenunan Lotong Bokok
6. Tenunan Pa‟ Bunga-bunga
7. Tenunan Pa‟ Miring, kain yang bermotif garis-garis pada pinggir kain
Kain Tenun tradisional Toraja dalam penggunaannya pertama kali hanya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan seperti Rambu Solo‟, dan ada pula kain-kain tertentu yang hanya digunakan seseorang yang memiliki peran dan upacara tersebut. Namun saat ini kain tenun tradisional Toraja dapat digunakan dimana saja.
Dapat dikatakan bahwa warna apapun dan motif apapun dari kain tenun tradisional Toraja dapat digunakan dalam upacara-upacara adat entah itu Upacara Rambu Solo, Upacara Rambu Tuka, maupun Upacara Mangrara Banua (syukuran Rumah Tongkonan). Tidak ada larangan atau aturan mengenai hal tersebut. Namun, dalam upacara rambu Solo hanya boleh menggunakan kain dasar bewarna hitam dengan motif tergantung dari orang yang memesannya misalnya kain paruki hitam yang hanya boleh digunakan dalam Upacara Rambu Solo atau misalnya baju sarung dengan warna apa saja tapi baju bewarna hitam.
Selain beberapa tenunan di atas, dalam masyarakat Toraja juga terdapat kain yang sangat di anggap sakral karena digunakan sebagai hiasan dalam Upacara Rambu Solo‟ yaitu kain Sarita dan kain Ma’a (Mawa). Kain Ma‟a merupakan kain sakral yang hanya dikenakan oleh pemuka agama dan pemuka adat ada berbagai acara adat seperti peresmian rumah baru. Namun sekarang ini sudah sulit ditemukan kain Ma‟a. Lebar kain sarita sekitar 30 - 40 cm. Panjang di atas 3 meter.
Dalam ritual Rambu Solo (upacara duka cita/ kematian) kain Sarita senantiasa dipakai sebagai hiasan kain gantung di rumah tongkonan, umbul-umbul, kerbau dan babi yang akan disembelih, hiasan penari, hiasan peti mati. Kain SARITA hanya akan dilihat dan wajib di pasang dalam Upacara Rambu Solo‟ yang jika yang meninggal itu merupakan keturunan bangsawan dan di syukuran rumah Tongkonan (Mangrara Banua),
Kain Sarita memilki motif yang unik yang digunakan sebagai penolak bala (roh jahat). Kegunaannya dalam upacara adat antara lain sebgai penghubung antara manusia dengan nenek moyangnya. Sehingga dengan hanya melihat penggunaan kain Sarita pada pesta yang sedang berlangsung kita sudah dapat mengetahui bahwa orang dipestakan adalah dari keturunan bangsawan. Corak-corak yang terdapat pada kain Sarita pun bermacam-macam serperti corak (motif) kerbau, ayam, babi, motif ukiran matahari, maupun motif Tau-Tau, motif-motif tersebut melambangkan nilai tingkat sosial (Status sosial) dan kekayaan si pemilik kain.
Selain dalam upacara-upacara adat kain tenun tradisional juga telah digunakan sebagai seragam para pengawai di kantor-kantor (instansi) di Toraja Utara yaitu digunakan pada hari kamis dan itu sudah menjadi aturan baru dalam lingkup instansi yang ada di Toraja Utara.
Selain digunakan sebagai busana di berbagai upacara-upacara adat atau seragam, kan tenun tradisional juga telah dikembangkan menjadi sebuah kerajinan yang menarik dalam berbagai bentuk seperti tas, slayer, taplak meja, salendang dan lain-lain.
Motif-motif yang digunakan dalam kain tenun tradisional selain berupa motif garis-garis geometris, bunga-bunga juga kebanyakan berupa motif ukiran Toraja.
Setiap motif pada kain tenun tradisional Toraja sebagian merupakan motif dari setiap ukiran-ukiran Toraja yang mengandung arti dan nilai-nilai kehidupan yang berkaitan erat dengan falsafah masyarakat Toraja. Inti dari motif ukiran toraja dalam kan tenun tradisional Toraja yaitu berupa nasehat, peringatan, pesan agar menjalani kehidupan ini dengan baik dan benar, selalu bekerja keras, saling menghargai serta senantiasa membina persatuan dan kekeluargaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beberapa motif pada kain tenun tradisional yang memilki makna nilai kehidupan dalam masyarakat Toraja antara lain:
1. Motif Pa’sekong Kandaure pada Tenun ikat
Tenunan ikat terbuat dari serat kapas yang telah dipintal sehingga kainnya kasar dan berat. Motif yang terdapat pada kain tenun ikat berbeda-beda. Salah satunya yaitu motif Pa‟sekong Kandaure.
Motif Pa‟sekong Kandaure merupakan lambang kebesaran perempuan Toraja sehingga jika ada seseorang perempuan yang meninggal maka pada peti mayatnya akan di pasang kain dengan motif tersebut.
Pa‟sekong Kandaure berasal dari dua kata (Toraja) yaitu Sekong: Lengkung, lingkar, atau kelok yang membentuk garis siku-siku. Kandaure : Perhiasan/aksesori yang digunakan oleh wanita bila mengenakan pakaian adat atau digunakan sebagai hiasan dalam upacara-upacara adat. Bahannya adalah manik-manik yang dianyam. Ukiran ini bermakna agar keturunan atau anak cucu masyarakat Toraja selalu hidup dalam kebahagiaan bagaikan cahaya dan indah seperti Kandaure.
2. Motif Kain Sarita
Sarita merupakan kain sakral yang dimiliki masyarakat Toraja. Kain Sarita digunakan sebagai hiasan dalam upacara adat. Motif-motif pada kain sarita beragam dan masing-masing memilki makna simbolis yang berbeda pula.
Beberapa motif yang ada pada kain sarita antara lain:
a. Motif Tau-Tau ( dapat di lihat pada kain bewarna biru)
Tau-Tau yang berarti menyerupai. Tau berarti orang, sehingga kata Tau-tau secara harafiah berarti orang-orangan. Patung Tau Tau adalah replika atau tiruan dari orang Toraja yang sudah meninggal dalam bentuk patung, dan biasanya diletakkan di sekitar tempat jenazahnya dimakamkan. Patung Tau-Tau bukan melambangkan badan atau raga almarhum, melainkan simbol roh atau spirit sang almarhum yang tidak ikut mati, tetapi melanjutkan kehidupan lain di alam berikutnya sesudah kematian.
Motif Tau-Tau pada kain tenun kebanyakan dipakai dalam kain Sarita karena kain tersebut merupakan kain antik yang member arti menentukan status sosial bagi si pemiliknya. Dalam pembuatan tau-tau tidak terlepas dari makna yang mendasari serta kedudukan dalam sistem sosial budaya Toraja. Pembuatan tau-tau berdasarkan bahannya menjadi dua yaitu tau-tau nangka dan tau-tau lampa.Tau-tau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi (tana’ bulaan) sedangkan tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menengah (tana’ bassi). Tidak semua masyarakat Toraja dapat dibuatkan patung Tau-Tau hanya dibuat jika seseorang tersebut merupakan golongan bangsawan,peran sosialnya, dan jenis upacara pemakamannya yaitu upacara randanan. Karena patung Tau-Tau merupakan simbol kekayaan dan status sosial bangsawan sehingga pada kain Sarita pun menggunakan motif Tau-Tau.
b. Motif Pa‟Tedong
Pa‟tedong berasal dari kata Tedong yang dalam bahasa indonesia berarti kerbau. Motif Pa‟tedong menyerupai bagian muka seekor kerbau. Di Toraja, kerbau adalah binatang peliharaan yang utama dan sangat disayangi. Bagi masyarakat Toraja, kerbau memilki fungsi ganda yaitu sebagai emas kain, sebagai pengelolah sawah, alat transaksi dalam jual beli masyarakat, sebagai korban persembahan kepada dewa atau leluhur yang telah meninggal dan lain-lain.
Motif Pa‟tedong kain tenun maupun kain Sarita memilki makna sebagai lambang kesejahteraan masyarakat Toraja, melambangkan kebangsawaan masyarakat Toraja dan sebagai lambang kemakmuran dan lamabang kehidupan orang Toraja dimana rumpun keluarga diharapkan dapat menternakkan kerbau
c. Motif Pa‟tangke Lumu‟
Motif Pa‟tangke lumu‟ terdiri dari dua kata yaitu tangke artinya tangkai dan lumu’ berarti lumut. Dalam bahasa Indonesia disebut tangkai lumut memiliki nilai sosial yang harus dijaga dalam masyarakat Toraja.
Makna motif Pa‟tangke Lumut yang tersirat dalam kain tenun bagi masyarakat Toraja yaitu menggambarkan cara-cara kehidupan masyarakat Toraja dalam memenuhi kebutuhannya atau makanannya. Masyarakat Toraja diharapkan mampu mencari makanan dengan cara yang jujur dimana saja dia berada seperti tanaman lumut yang dapat tumbuh di batu-batu. Selain itu menjadi harapan dalam keluarga ada keharmonisan saling berhubungan satu dengan lain.
d. Pa‟bulu Londong
Pa‟bulu Londong terdiri dari kata bulu yaitu bulu dan londong artinya ayam jantan jika disatukan berarti bulu ayam jantan. Motif ini menyerupai rumbai ayam jantan. Motif ini biasanya terdapat pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada papan atas berbentuk segitiga.
Ayam jantan di lambangkan sebagai kejantanan seorang laki-laki sebagai dimiliki seorang pemimpin dalam masyarakat. Pa‟bulu Londong melekat pada seseorang yang tokoh masyarakat (orang kesatria), yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat Toraja.
Makna dari motif ini yaitu: Melambangkan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat dipercaya oleh karena pintar, serta selalu mengatakan apa yang benar. Ada pepatah mengatakan: ayam dikenal karna tingkah lakunya artinya pemimpin yang bijaksana, arif akan dikenang selama-lamanya yang tingkah lakunya yang baik. Sehingga pada kain Sarita terdapat motif Pa‟ bulu Londong yang menggambarkan bahwa orang yang meninggal tersebut dahulunya semasa hidupnya merupakan seorang pemimpin (tokoh masyarakat) yang bijaksana.
e. Pa‟barre Allo
Pa‟ Barre Allo atau biasa disebut Sang Pencipta, Berasal dari Bahasa Toraja yaitu Barre: Bulatan atau Bundaran dan Allo: Matahari. Pa’Barre Allo berarti ukiran yang menyerupai matahari yang bersinar terang, memberi kehidupan kepada seluruh mahluk penghuni alam semesta. Ukiran ini diletakkan pada bagian rumah adat yang berbentuk segitiga dan condong ke atas yang dalam bahasa Toraja disebut Para Longa, dan di letakkan di bagian belakang dan depan Rumah adat.
Bagi masyarakat Toraja matahari dianggap sebagai simbol sebuah kehidupan yang berasal dari Sang Pencipta memberi kehidupan kepada seluruh mahluk penghuni alam semesta, serta merupakan simbol kebesaran dan kebanggaan masyarkat Toraja sehingga motif tersebut digunakan pada kain tenun tradisional Toraja khususnya dalam kain Sarita. Masyarakat Toraja Percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia.
Biasanya di atas ukiran ini diletakkan ukiran pa‟bulu Londong maksudnya adalah ilmu pengetahuan dan kearifat itu bertujuan mulia memberi kehidupn bagi siapapun.
3. Motif Pa’bua Tina’ (Bombo Uai) pada Kain Tenun Tradisional Toraja
Motif Pa‟bua tina adalah ukiran yang menyerupai buah pohon waru. Terdiri dari dua kata yaitu bua artinya buah, tina artinya pohon waru. Biji pohon Waru yang semacam kacan khas Toraja yang bisa di goreng dan rasanya seperti kacang goreng. Kulitnya dapat dipintal menjadi kuat. Bua tina‟ mirip dengan buah kapas hanya saja bua tina memiliki sedikit biji.
Pa‟bua Tina merupakan motif ukiran yang diambil dari tanaman tradisional yang dijadikan kacang oleh masyarakat Toraja yaitu pohon waru. Makna simbol yang terdapat pada motif Pa‟bua Tina dan Bombo uai yaitu masyarakat Toraja pintar-pintarlah menitih dalam kehidupan ini, dalam hal ini adalah masyarakat Toraja harus lincah, cekatan, cepat dan tepat. Selain itu motif ini berarti manusia harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang cukup dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
Dalam melakukan pekerjaan masyarakat Toraja selalu lincah, cekatan dalam berbagai hal. Masyarakat Toraja juga dikenal terampil dalam membuat suatu karya misalnya kain Tenun. Mereka melakukannya dengan penuh kesabaran, cekatan dan tepat.
4. Motif Pa’bannang pada Kain Tenun Tradisional Toraja
Ukiran Pa‟bannang (seperti benang) terdapat dalam kain Tenunan Pa‟borong-borong dan Pa‟miring. Pa‟borong-borong bermotif seperti garis-garis di semua kainnya dengan warna yang berbeda sedangkan tenunan Pa‟miring bermotif garis-garis tapi hanya pada pinggir kain tenunnya.
Motif Pa‟bandang memiliki pesan bagi dalam nilai sopan santun, saling menghargai satu dengan yang lain, saling berjalan sepadan supaya kehidupan masyarakat Toraja hidup dalam kedamaian.
Posting Komentar